Di D.I.
Yogyakarta dan sekitarnya, penetapan Upah Minimum oleh Pemerintah dari tahun ke
tahun, belumlah mampu menjawab kebutuhan layak buruh. Untuk tahun 2013 didaerah
Yogyakarta dan sekitarnya upah minimum
paling tinggi yang ditetapkan yaitu di Kota Yogyakarta sebesar Rp 1.065.247
sementara upah minimum paling rendah dipegang oleh Kabupaten Klaten sebesar Rp
871.500.
Sementara
itu Barisan Buruh Indonesia telah melakukan survei kebutuhan hidup layak di
Yogyakarta dan sekitarnya berdasarkan panduan penghitungan hidup layak yang ada
dalam Permenaker No. 13 Tahun 2012. Hasil survei menemukan bahwa standar
Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di Yogyakarta dan sekitarnya berdasarkan Permenaker
tersebut adalah Rp. 1.760.265,00. Perinciannya meliputi kebutuhan makanan dan
minuman sebesar Rp. 469.400,00, kebutuhan sandang sebesar Rp. 100.200,00,
perumahan Rp. 703.550,00, pendidikan Rp. 202.850,00, kesehatan Rp. 57.750,
transportasi Rp. 180.000,00 dan rekreasi tabungan sebesar Rp. 46.515,00. Angka
tersebut adalah standar hidup layak menurut survey kami berdasarkan atas
Permenaker No 13 Tahun 2012. Sementara untuk besaran UMK, tentu saja harus
diatas survey KHL tersebut.
Angka yang
ditetapkan oleh Pemerintah sangat jauh dari pemenuhan kebutuhan hidup layak
seorang buruh lajang, apalagi mereka yang berkeluarga. Memenuhi kebutuhan hidup
buruh mencakup sandang, pangan dan papan serta kebutuhan sosial lainnya,
sangatlah mustahil dengan nilai upah yang sangat rendah tersebut. Ini tentu
saja situasi yang semakin membenarkan bahwa praktek politik upah murah masih
terus menikam kepentingan kaum buruh. Padahal sesungguhnya perusahaan selama
ini, toh hanya mengeluarkan biaya untuk upah/gaji buruh hanya sekitar 6-7 %
dari total produksi, dibandingkan dengan biaya-biaya siluman sebesar 20-30 %.
Jadi sangat tidak rasional jika tuntutan upah layak, tidak disanggupi oleh
Pemerintah dan Pengusaha.
Juga laju
inflasi terus meningkat setiap bulannya. Inflasi tersebut sangat bergantung
terhadap Indeks Harga Konsumen (IHK), yang ditentukan oleh rasio kemampuan daya
beli masyarakat terhadap harga-harga kebutuhan pokok sehari-hari. Kota Yogyakarta sendiri pada bulan
September 2012 mengalami inflasi sebesar 0,19 persen. Inflasi ini disebabkan
adanya kenaikan harga-harga yang ditunjukkan oleh naiknya angka indeks harga
konsumen. (Sumber : BRS BPS Provinsi Yogyakarta Bulan September 2012).
Sementara
itu dalam tahun-tahun kedepan DI Yogyakarta akan menjadi daerah favorit
investasi. Di Kabupaten Sleman terdapat rencana investasi miliaran rupiah
terutama dalam sektor perhotelan. Bahkan
Kulon Progo telah ditetapkan oleh Kementerian Industri menjadi pusat kawasan
industri baja dan logam dengan nilai investasi infrastruktur sebesar 11,58
Triliun rupiah. Dengan luas kawasan yang direncanakan
kurang lebih 2000 Ha, meliputi Kecamatan Galur, Lendah dan Sentolo yang
terintegrasi dengan Kawasan Industri Sentolo. Kawasan Industri sentolo sendiri
difasilitasi oleh Pemerintah Daerah Kulon Progo dengan luas lahan sebesar
72-200 Ha yang terletak di desa Tuksono Kecamatan Sentolo. Investasi yang terus bertambah bukan hanya
berarti lapangan pekerjaan bagi rakyat. Tapi juga harus meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Hal tersebut hanya bisa terjadi ketika pemerintah
menjalankan kewajibannya untuk memastikan kesejahteraan rakyat khususnya kaum
buruh dalam hal upah layak.
Secara
khusus di Kabupaten Klaten memang terlihat jelas bahwa para elit politik yang
berkuasa di Klaten adalah antek bagi para pemilik modal. Terlepas bahwa partai
yang berkuasa di Klaten adalah PDI Perjuangan yang selalu menggembar-gemborkan
pro wong cilik. Hal ini terlihat jelas dalam perjuangan buruh PT SC
Enterprises. Dimana jelas bahwa hampir semua hak normatif yang telah diatur
dalam berbagai ketentuan hukum dilanggar oleh PT SC Enterprises. Namun Bupati
dan jajarannya justru terus menerus berkomentar di media massa bahwa aksi buruh
mengganggu investasi di Klaten.
(http://www.boyolalipos.com/2012/konflik-buruh-klaten-polemik-pt-sce-ancam-iklim-investasi-184163#comment-123840) Bahkan ketika terjadi mediasi di Kantor Disnaker Klaten, yang dihadiri oleh Kepala Disnaker Klaten dan Komisi IV DPRD preman bayaran PT SC Enterprises justru dengan bebas melakukan intimidasi. (http://cetak.joglosemar.co/berita/mediasi-buruh-pt-sce-panas-diwarnai-intimidasi-75337.html)
(http://www.boyolalipos.com/2012/konflik-buruh-klaten-polemik-pt-sce-ancam-iklim-investasi-184163#comment-123840) Bahkan ketika terjadi mediasi di Kantor Disnaker Klaten, yang dihadiri oleh Kepala Disnaker Klaten dan Komisi IV DPRD preman bayaran PT SC Enterprises justru dengan bebas melakukan intimidasi. (http://cetak.joglosemar.co/berita/mediasi-buruh-pt-sce-panas-diwarnai-intimidasi-75337.html)
Kebijakan
untuk menekan upah buruh kita kenal dengan Politik Upah Murah. Politik upah
murah adalah kebijakan pemerintah yang berkuasa di nasional maupun daerah yang
merupakan bagian dari skema Neoliberalisme. Tujuan utamanya adalah agar para
pemilik modal dapat secara maksimal mendapatkan keuntungan akumulasi modalnya.
Kebijakan Politik Upah Murah merupakan satu bagian dari kebijakan fleksibilitas
pasar tenaga kerja yang dalam prakteknya kita lihat dalam sistem kerja kontrak
dan outsourcing. Karena politik upah murah merupakan kebijakan politik maka
jalur-jalur legal formal tidak lagi menjadi solusi bagi peningkatan upah yang
diinginkan oleh kaum buruh dan justru menjadi sumber masalah juga.
Jalur legal
formal yang sarat dengan kongkalikong kepentingan modal tersebut juga sempat
menjadi tuntutan dalam aksi buruh. Pada tanggal 14 November seribuan buruh dari
Kota Semarang dan sekitarnya menggelar aksi di Kantor Gubernur Jawa Tengah.
Mereka meminta salinan keputusan Gubernur tentang Upah Minimum 2013 yang
menetapkan upah Kota Semarang sebesar Rp 1.209.100,-. Tujuannya adalah menjaga
agar penetapan upah tidak tiba-tiba berupah seperti yang terjadi ditahun lalu.
Demikian mereka meminta Gubernur Jawa Tengah untuk memperketat upaya pengajuan
penangguhan upah oleh Pengusaha.
Penentuan
Upah minimum melalui Jalur legal formal adalah melalui Dewan Pengupahan, yang
berisi wakil dari Pengusaha, Serikat Pekerja dan Pemerintah. Namun sekarang
kaum buruh justru melihat bahwa Dewan Pengupahan adalah bagian dari masalah
yang melegalkan Politik Upah Murah. Hampir disemua daerah, Dewan Pengupahan,
bahkan dengan adanya wakil dari Serikat Pekerja, merekomendasikan upah yang
jauh dibawah layak. Anggota-anggota Dewan Pengupahan dari wakil Serikat Pekerja
justru seringnya menjadi seperti anggota DPR yang tidak bisa dikontrol oleh
kaum buruh dan membawa agenda serta kepentingannya sendiri. Demikian para perwakilan
dari Serikat Pekerja justru menjadi stempel bagi upah murah yang diinginkan
oleh para pemilik modal dan elit-elit politik.
Karena
Politik Upah Murah yang terus menerus menindas buruh dan jalur legal formal,
Dewan Pengupahan, yang tidak bisa memberikan kenaikan upah layak bagi kaum
buruh itulah muncul perlawanan kaum buruh menuntut Upah Layak dalam beberapa
bulan terakhir ini. Ribuan bahkan ratusan ribu kaum buruh turun ke jalan
diberbagai kota untuk menuntut upah layak. Di Jakarta pada 24 Oktober 2012
ribuan buruh dari Forum Buruh DKI dan Buruh Jakarta Bergerak menggelar unjuk
rasa di Balakota DKI Jakarta menuntut upah layak 2,7 juta rupiah perbulan.
Sementara itu di Tangerang, Aliansi Serikat Buruh Tangerang melakukan unjuk
rasa di DPRD Kota Tangerang menuntut upah minimum sebesar Rp 2.872.500,-.
Ribuan buruh juga menuntut penghapusan sistem kerja kontrak dan outsourcing.
Aksi sempat diwarnai bentrokan dengan Satpol PP Kota Tangerang. Sementara itu
di Karawang puluhan ribu buruh melakukan aksi pada tanggal 16 November di
Kantor Bupati Karawang. Aksi tersebut untuk menuntut upah minimu 2 juta rupiah
sesuai kesepakatan dengan Bupati Karawang saat peringatan Hari Buruh 1 Mei
2012. Di Bogor ribuan buruh menduduki Jalan Raya Tegar Beriman sambil membakar
ban bekas untuk menuntut kenaikan upah dari 1,2 juta menjadi 3,2 juta rupiah
perbulan. Sebelum melakukan aksi mereka melakukan sweeping ke pabrik-pabrik
diberbagai kawasan industri. Tiga hari berturut-turut ribuan buruh di Surabaya
menggelar aksi menuntut kenaikan upah sebesar 2,2 juta. Para buruh yang berasal
dari Sidoarjo, Pasuruan dan Mojokerja masuk ke Surabaya untuk melakukan aksi di
Gedung Negara Grahadi dan Kantor Gubernur Jawa Timur. Sementara itu di
Palembang ribuan massa buruh juga turun ke jalan menuntut pencabutan ketetapan
upah minimum sebesar 1,350 juta menjadi 1.874.733 rupiah sebulan.
Tidak dapat
dihindari bahwa ketika perlawanan buruh semakin besar dan mendapatkan
kemenangan-kemenangan maka muncul reaksi dari para pemilik modal. Reaksi yang muncul
demi mempertahankan akumulasi modal semaksimal mungkin. Salah satunya adalah
dengan tidak mematuhi ketetapan upah yang berlaku. Sebagai contoh yang terjadi
di Kabupaten Banyuwangi. Dimana 449 orang pekerja berstatus tenaga lepas diupah
28 ribu rupiah sehari sehingga sebulan hanya menerima 700 ribu rupiah padahal
upah minimum kabupaten Banyuwangi tahun 2010 sebesar 824 ribu rupiah perbulan.
Namun dengan perlawanan kaum buruh dan Serikat Pekerja PT Maya Muncar hasilnya
Direktur Keuangan PT Maya Muncar, Agus Wahyudin dihukum penjara satu tahun. (http://www.tempo.co/read/news/2012/12/05/063446025/Tak-Penuhi-UMP-Pengusaha-Ini-Dipenjara).
Kini
pengusaha melalui organisasinya, Apindo berupaya mengajukan penangguhan upah
secara kolektif. Asosiasi Pengusaha Indonesia juga berulang kali melemparkan
isu bahwa jika upah naik maka para pengusaha akan melakukan relokasi pabrik, ke
daerah lain atau bahkan ke luar negeri. Selain itu juga akan melakukan PHK
massal jika upah dinaikan. Namun demikian hingga kini ancaman tersebut tidak
terbukti, karena dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan biaya untuk upah/gaji
buruh hanya sekitar 6-7 % dari total produksi upah yang lebih tinggi sebenarnya
dapat diberikan.
Ketika semua
ancaman tersebut tidak berhasil meredam gerakan buruh maka, seperti wataknya
yang menindas dan penuh dengan kekerasan, para pemilik modal sekarang
menggunakan preman bayaran untuk memukul gerakan buruh. Para pemilik modal
menutupi tindakan premanisme tersebut dengan mengkampanyekan bahwa preman
tersebut adalah masyarakat lokal yang resah dengan aksi buruh. Demikian bersama
para elit politik yang melindunginya serta alat kekerasan Negara maka para
pemilik modal mulai melakukan kriminalisasi terhadap perjuangan kaum buruh.
Terdapat belasan buruh yang ditahan oleh pihak kepolisian dalam aksi-aksi
menuntut upah dan hak-hak normatif lainnya.
Kenaikan
upah merupakan hasil jerih payah perjuangan kaum buruh yang harus kita ambil
pelajarannya. Pun demikian bukan berarti kenaikan upah tersebut dapat
beriringan dengan kenaikan pendapatan. Sudah muncul pernyataan dari Pemerintah
bahwa harga BBM akan dinaikan sebesar Rp 1.500,- yang tentunya akan berefek
pada kenaikan harga barang-barang, demikian juga biaya listrik yang meningkat.
Dari
beberapa bulan ini dapat diambil kesimpulan bahwa didaerah-daerah dimana
gerakan buruhnya besar terdapat kenaikan upah yang cukup signifikan seperti di
daerah Jakarta, Tangerang, Karawang dan Bekasi dimana upah naik menjadi 2 juta
rupiah perbulan. Hal diatas adalah karena hubungan kaum buruh dengan para
pemilik modal adalah hubungan yang saling bertentangan. Kaum pemilik modal
selalu berupaya dengan modal yang kecil mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya
yaitu dengan menekan upah buruh. Sementara kaum buruh akan selalu berupaya
untuk mendapatkan kesejahteraan bagi diri dan keluarganya. Oleh karena itu
hanya dengan bergabung dalam satu kekuatan didalam Serikat Pekerja/Serikat
Buruh lah maka kaum buruh dapat mempertahankan kesejahteraannya dan memastikan
dirinya serta keluarganya tidak dimiskinkan oleh para pemilik modal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar