Minggu, 03 Maret 2013

Tolak Praktek Politik Upah Murah


Di D.I. Yogyakarta dan sekitarnya, penetapan Upah Minimum oleh Pemerintah dari tahun ke tahun, belumlah mampu menjawab kebutuhan layak buruh. Untuk tahun 2013 didaerah Yogyakarta dan sekitarnya  upah minimum paling tinggi yang ditetapkan yaitu di Kota Yogyakarta sebesar Rp 1.065.247 sementara upah minimum paling rendah dipegang oleh Kabupaten Klaten sebesar Rp 871.500.

Sementara itu Barisan Buruh Indonesia telah melakukan survei kebutuhan hidup layak di Yogyakarta dan sekitarnya berdasarkan panduan penghitungan hidup layak yang ada dalam Permenaker No. 13 Tahun 2012. Hasil survei menemukan bahwa standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di Yogyakarta dan sekitarnya berdasarkan Permenaker tersebut adalah Rp. 1.760.265,00. Perinciannya meliputi kebutuhan makanan dan minuman sebesar Rp. 469.400,00, kebutuhan sandang sebesar Rp. 100.200,00, perumahan Rp. 703.550,00, pendidikan Rp. 202.850,00, kesehatan Rp. 57.750, transportasi Rp. 180.000,00 dan rekreasi tabungan sebesar Rp. 46.515,00. Angka tersebut adalah standar hidup layak menurut survey kami berdasarkan atas Permenaker No 13 Tahun 2012. Sementara untuk besaran UMK, tentu saja harus diatas survey KHL tersebut.


Angka yang ditetapkan oleh Pemerintah sangat jauh dari pemenuhan kebutuhan hidup layak seorang buruh lajang, apalagi mereka yang berkeluarga. Memenuhi kebutuhan hidup buruh mencakup sandang, pangan dan papan serta kebutuhan sosial lainnya, sangatlah mustahil dengan nilai upah yang sangat rendah tersebut. Ini tentu saja situasi yang semakin membenarkan bahwa praktek politik upah murah masih terus menikam kepentingan kaum buruh. Padahal sesungguhnya perusahaan selama ini, toh hanya mengeluarkan biaya untuk upah/gaji buruh hanya sekitar 6-7 % dari total produksi, dibandingkan dengan biaya-biaya siluman sebesar 20-30 %. Jadi sangat tidak rasional jika tuntutan upah layak, tidak disanggupi oleh Pemerintah dan Pengusaha.
Juga laju inflasi terus meningkat setiap bulannya. Inflasi tersebut sangat bergantung terhadap Indeks Harga Konsumen (IHK), yang ditentukan oleh rasio kemampuan daya beli masyarakat terhadap harga-harga kebutuhan pokok sehari-hari. Kota Yogyakarta sendiri pada bulan September 2012 mengalami inflasi sebesar 0,19 persen. Inflasi ini disebabkan adanya kenaikan harga-harga yang ditunjukkan oleh naiknya angka indeks harga konsumen. (Sumber : BRS BPS Provinsi Yogyakarta Bulan September 2012).

Sementara itu dalam tahun-tahun kedepan DI Yogyakarta akan menjadi daerah favorit investasi. Di Kabupaten Sleman terdapat rencana investasi miliaran rupiah terutama dalam sektor perhotelan. Bahkan Kulon Progo telah ditetapkan oleh Kementerian Industri menjadi pusat kawasan industri baja dan logam dengan nilai investasi infrastruktur sebesar 11,58 Triliun rupiah.  Dengan luas kawasan yang direncanakan kurang lebih 2000 Ha, meliputi Kecamatan Galur, Lendah dan Sentolo yang terintegrasi dengan Kawasan Industri Sentolo. Kawasan Industri sentolo sendiri difasilitasi oleh Pemerintah Daerah Kulon Progo dengan luas lahan sebesar 72-200 Ha yang terletak di desa Tuksono Kecamatan Sentolo. Investasi yang terus bertambah bukan hanya berarti lapangan pekerjaan bagi rakyat. Tapi juga harus meningkatkan kesejahteraan rakyat. Hal tersebut hanya bisa terjadi ketika pemerintah menjalankan kewajibannya untuk memastikan kesejahteraan rakyat khususnya kaum buruh dalam hal upah layak.

Secara khusus di Kabupaten Klaten memang terlihat jelas bahwa para elit politik yang berkuasa di Klaten adalah antek bagi para pemilik modal. Terlepas bahwa partai yang berkuasa di Klaten adalah PDI Perjuangan yang selalu menggembar-gemborkan pro wong cilik. Hal ini terlihat jelas dalam perjuangan buruh PT SC Enterprises. Dimana jelas bahwa hampir semua hak normatif yang telah diatur dalam berbagai ketentuan hukum dilanggar oleh PT SC Enterprises. Namun Bupati dan jajarannya justru terus menerus berkomentar di media massa bahwa aksi buruh mengganggu investasi di Klaten. 
(http://www.boyolalipos.com/2012/konflik-buruh-klaten-polemik-pt-sce-ancam-iklim-investasi-184163#comment-123840) Bahkan ketika terjadi mediasi di Kantor Disnaker Klaten, yang dihadiri oleh Kepala Disnaker Klaten dan Komisi IV DPRD preman bayaran PT SC Enterprises justru dengan bebas melakukan intimidasi. (http://cetak.joglosemar.co/berita/mediasi-buruh-pt-sce-panas-diwarnai-intimidasi-75337.html)

Kebijakan untuk menekan upah buruh kita kenal dengan Politik Upah Murah. Politik upah murah adalah kebijakan pemerintah yang berkuasa di nasional maupun daerah yang merupakan bagian dari skema Neoliberalisme. Tujuan utamanya adalah agar para pemilik modal dapat secara maksimal mendapatkan keuntungan akumulasi modalnya. Kebijakan Politik Upah Murah merupakan satu bagian dari kebijakan fleksibilitas pasar tenaga kerja yang dalam prakteknya kita lihat dalam sistem kerja kontrak dan outsourcing. Karena politik upah murah merupakan kebijakan politik maka jalur-jalur legal formal tidak lagi menjadi solusi bagi peningkatan upah yang diinginkan oleh kaum buruh dan justru menjadi sumber masalah juga.

Jalur legal formal yang sarat dengan kongkalikong kepentingan modal tersebut juga sempat menjadi tuntutan dalam aksi buruh. Pada tanggal 14 November seribuan buruh dari Kota Semarang dan sekitarnya menggelar aksi di Kantor Gubernur Jawa Tengah. Mereka meminta salinan keputusan Gubernur tentang Upah Minimum 2013 yang menetapkan upah Kota Semarang sebesar Rp 1.209.100,-. Tujuannya adalah menjaga agar penetapan upah tidak tiba-tiba berupah seperti yang terjadi ditahun lalu. Demikian mereka meminta Gubernur Jawa Tengah untuk memperketat upaya pengajuan penangguhan upah oleh Pengusaha.

Penentuan Upah minimum melalui Jalur legal formal adalah melalui Dewan Pengupahan, yang berisi wakil dari Pengusaha, Serikat Pekerja dan Pemerintah. Namun sekarang kaum buruh justru melihat bahwa Dewan Pengupahan adalah bagian dari masalah yang melegalkan Politik Upah Murah. Hampir disemua daerah, Dewan Pengupahan, bahkan dengan adanya wakil dari Serikat Pekerja, merekomendasikan upah yang jauh dibawah layak. Anggota-anggota Dewan Pengupahan dari wakil Serikat Pekerja justru seringnya menjadi seperti anggota DPR yang tidak bisa dikontrol oleh kaum buruh dan membawa agenda serta kepentingannya sendiri. Demikian para perwakilan dari Serikat Pekerja justru menjadi stempel bagi upah murah yang diinginkan oleh para pemilik modal dan elit-elit politik.

Karena Politik Upah Murah yang terus menerus menindas buruh dan jalur legal formal, Dewan Pengupahan, yang tidak bisa memberikan kenaikan upah layak bagi kaum buruh itulah muncul perlawanan kaum buruh menuntut Upah Layak dalam beberapa bulan terakhir ini. Ribuan bahkan ratusan ribu kaum buruh turun ke jalan diberbagai kota untuk menuntut upah layak. Di Jakarta pada 24 Oktober 2012 ribuan buruh dari Forum Buruh DKI dan Buruh Jakarta Bergerak menggelar unjuk rasa di Balakota DKI Jakarta menuntut upah layak 2,7 juta rupiah perbulan. Sementara itu di Tangerang, Aliansi Serikat Buruh Tangerang melakukan unjuk rasa di DPRD Kota Tangerang menuntut upah minimum sebesar Rp 2.872.500,-. Ribuan buruh juga menuntut penghapusan sistem kerja kontrak dan outsourcing. Aksi sempat diwarnai bentrokan dengan Satpol PP Kota Tangerang. Sementara itu di Karawang puluhan ribu buruh melakukan aksi pada tanggal 16 November di Kantor Bupati Karawang. Aksi tersebut untuk menuntut upah minimu 2 juta rupiah sesuai kesepakatan dengan Bupati Karawang saat peringatan Hari Buruh 1 Mei 2012. Di Bogor ribuan buruh menduduki Jalan Raya Tegar Beriman sambil membakar ban bekas untuk menuntut kenaikan upah dari 1,2 juta menjadi 3,2 juta rupiah perbulan. Sebelum melakukan aksi mereka melakukan sweeping ke pabrik-pabrik diberbagai kawasan industri. Tiga hari berturut-turut ribuan buruh di Surabaya menggelar aksi menuntut kenaikan upah sebesar 2,2 juta. Para buruh yang berasal dari Sidoarjo, Pasuruan dan Mojokerja masuk ke Surabaya untuk melakukan aksi di Gedung Negara Grahadi dan Kantor Gubernur Jawa Timur. Sementara itu di Palembang ribuan massa buruh juga turun ke jalan menuntut pencabutan ketetapan upah minimum sebesar 1,350 juta menjadi 1.874.733 rupiah sebulan.

Tidak dapat dihindari bahwa ketika perlawanan buruh semakin besar dan mendapatkan kemenangan-kemenangan maka muncul reaksi dari para pemilik modal. Reaksi yang muncul demi mempertahankan akumulasi modal semaksimal mungkin. Salah satunya adalah dengan tidak mematuhi ketetapan upah yang berlaku. Sebagai contoh yang terjadi di Kabupaten Banyuwangi. Dimana 449 orang pekerja berstatus tenaga lepas diupah 28 ribu rupiah sehari sehingga sebulan hanya menerima 700 ribu rupiah padahal upah minimum kabupaten Banyuwangi tahun 2010 sebesar 824 ribu rupiah perbulan. Namun dengan perlawanan kaum buruh dan Serikat Pekerja PT Maya Muncar hasilnya Direktur Keuangan PT Maya Muncar, Agus Wahyudin dihukum penjara satu tahun. (http://www.tempo.co/read/news/2012/12/05/063446025/Tak-Penuhi-UMP-Pengusaha-Ini-Dipenjara).

Kini pengusaha melalui organisasinya, Apindo berupaya mengajukan penangguhan upah secara kolektif. Asosiasi Pengusaha Indonesia juga berulang kali melemparkan isu bahwa jika upah naik maka para pengusaha akan melakukan relokasi pabrik, ke daerah lain atau bahkan ke luar negeri. Selain itu juga akan melakukan PHK massal jika upah dinaikan. Namun demikian hingga kini ancaman tersebut tidak terbukti, karena dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan biaya untuk upah/gaji buruh hanya sekitar 6-7 % dari total produksi upah yang lebih tinggi sebenarnya dapat diberikan.

Ketika semua ancaman tersebut tidak berhasil meredam gerakan buruh maka, seperti wataknya yang menindas dan penuh dengan kekerasan, para pemilik modal sekarang menggunakan preman bayaran untuk memukul gerakan buruh. Para pemilik modal menutupi tindakan premanisme tersebut dengan mengkampanyekan bahwa preman tersebut adalah masyarakat lokal yang resah dengan aksi buruh. Demikian bersama para elit politik yang melindunginya serta alat kekerasan Negara maka para pemilik modal mulai melakukan kriminalisasi terhadap perjuangan kaum buruh. Terdapat belasan buruh yang ditahan oleh pihak kepolisian dalam aksi-aksi menuntut upah dan hak-hak normatif lainnya.

Kenaikan upah merupakan hasil jerih payah perjuangan kaum buruh yang harus kita ambil pelajarannya. Pun demikian bukan berarti kenaikan upah tersebut dapat beriringan dengan kenaikan pendapatan. Sudah muncul pernyataan dari Pemerintah bahwa harga BBM akan dinaikan sebesar Rp 1.500,- yang tentunya akan berefek pada kenaikan harga barang-barang, demikian juga biaya listrik yang meningkat.

Dari beberapa bulan ini dapat diambil kesimpulan bahwa didaerah-daerah dimana gerakan buruhnya besar terdapat kenaikan upah yang cukup signifikan seperti di daerah Jakarta, Tangerang, Karawang dan Bekasi dimana upah naik menjadi 2 juta rupiah perbulan. Hal diatas adalah karena hubungan kaum buruh dengan para pemilik modal adalah hubungan yang saling bertentangan. Kaum pemilik modal selalu berupaya dengan modal yang kecil mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya yaitu dengan menekan upah buruh. Sementara kaum buruh akan selalu berupaya untuk mendapatkan kesejahteraan bagi diri dan keluarganya. Oleh karena itu hanya dengan bergabung dalam satu kekuatan didalam Serikat Pekerja/Serikat Buruh lah maka kaum buruh dapat mempertahankan kesejahteraannya dan memastikan dirinya serta keluarganya tidak dimiskinkan oleh para pemilik modal.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar